Minggu, 28 Maret 2010

Siapa Telah Memfitnah Diriku?

Siapa Telah Memfitnah Diriku?

Senin, 25 Agustus 2008 | 01:47 WIB

Pertanyaan sekaligus keinginan itulah yang terus mengejarnya selama 40 tahun. Mengapa dirinya difitnah, dimasukkan penjara selama empat tahun tanpa diadili dan langsung dipensiunkan pada usia 48 tahun? Setiap kali mempertanyakan, tidak ada yang bisa menjawab. Sampai akhirnya, pada Rabu (13/8) malam pukul 20.00, Moersjid, pensiunan Mayor Jenderal, tutup usia di RSAL, Jakarta. Esoknya, almarhum dimakamkan di Parung, Bogor. Sebagai pemegang sederet tanda jasa, dia berhak dimakamkan di Kalibata, mengapa tidak di sana?

”…sebelum meninggal, ayah sudah pesan, jangan makamkan aku di Kalibata,” kata Siddharta, seorang putra almarhum. Dilahirkan di Jakarta 10 Desember 1924, dari ayah asal Begelen dan ibu Betawi, ”Sejak dulu beliau pemberang, maka juga tak ada yang berani membantah permintaan tersebut.” Rekam jejak Moersjid naik-turun. Sampai kematian menjemput, dia tetap merasa difitnah, dituduh mendukung Bung Karno dan lain-lainnya lagi. Maka almarhum selalu berkata, ”Saya contoh terbaik the right man in the wrong place…”

Dijemput paksa

Jumat dini hari 1 Oktober 1965, sekelompok prajurit ABRI yang menamakan diri Gerakan 30 September menculik sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Daftar dari Letkol (Inf) Untung Syamsuri, Dan Yon I Kawal Kehormatan Resimen Tjakrabirawa sekaligus Komandan Operasi, ada tujuh jenderal jadi sasaran. ”Tangkap mereka, kita serahkan anggota Dewan Jenderal kepada Presiden/Panglima Tertingi untuk diadili…”

Lima orang dijemput paksa, dua terpaksa ditembak karena mencoba melawan. Menjelang sinar matahari berlomba dengan subuh, di luar skenario di Lubang Buaya terjadi dua hal.

Pertama, muncul seorang sipil memberi perintah, ”…tembak para jenderal kabir (kapitalis birokrat).” Belakangan ketahuan, sosok misterius tersebut Syam Kamaruzaman, anggota Biro Khusus PKI.

Kedua, salah satu sasaran penculikan ternyata keliru. Bukan Jenderal Nasution yang diringkus, tetapi ajudannya. Semuanya kini tinggal menjadi catatan sejarah.

Lima tawanan segera ditembak, mayatnya bersama dua mayat lain yang sudah lebih dulu tertembak dilemparkan ke dalam sumur. Menjelang siang, Brigjen Soepardjo, Panglima Kopur Komando Mandala Siaga, akan menghadap Presiden di Istana Negara konon sambil membawa sejumlah bukti sekitar Dewan Jenderal. Ternyata, Bung Karno belum muncul dari rumah Ny Dewi Soekarno, tempatnya bermalam.

Soepardjo juga tidak tahu, pagi itu ketika sedang menuju Istana, di dekat air mancur pojok Lapangan Merdeka, Letkol (Pol) Mangil, Komandan DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Tjakrabirawa, memerintahkan mobil Presiden belok ke kiri, masuk Jalan Budi Kemuliaan, menuju rumah Ny Haryati Soekarno. Alasan Mangil, ”…pasukan tidak dikenal (ternyata, Batalyon Banteng Raiders Diponegoro, bekas anak buah Untung sewaktu masih di Semarang) berada di sekitar Istana.”

Jumat siang Mayjen Soeharto berhasil melakukan konsolidasi sekaligus mengambil alih posisi Panglima Angkatan Darat karena Letjen Achmad Yani hilang. Jumat sore, stasiun RRI Pusat dibebaskan dan Sabtu pagi, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, pejabat Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), berhasil menghalau pasukan pembangkang lari ke luar kota.

Tak ikut diculik

”Saya memang tidak ikut diculik,” kata Moersjid, saat itu Deputy I (Operasi) Panglima AD. Di MBAD dia orang kedua yang secara otomatis menggantikan Yani kalau Panglima sedang tidak di tempat. Bagaimana dengan Soeharto?

Moersjid menjawab, ”Kantornya di Kostrad. Gerakan 30 September berhasil menculik enam pejabat teras MBAD, tetapi belum merebut komando Angkatan Darat.” Selain di sejumlah lokasi (Lubang Buaya, kompleks Halim, Gedung RRI) terganggu, sepanjang hari Jumat kehidupan Jakarta tetap normal. Ny Hartini Soekarno dari Bogor datang ke Harmoni membuka pameran kerajinan. Jadwal kereta api dan pesawat terbang tidak ada yang terganggu.

Keributan justru terjadi di Markas Komando Kodam Diponegoro di Semarang karena perwira pembangkang mengusir Panglima Mayjen Suryosumpeno. Kemudian di Markas Komando Resimen Pamungkas di Yogyakarta. Danrem Kolonel Katamso dan Kasrem Letkol Sugijono diculik dan tidak ketahuan siapa yang melakukan. Baru belakangan ketahuan, anak buahnya sendiri.

Buntut usrek

Mengapa Moersjid tidak diculik?

”Saya tidak tahu.” Dia langsung menambahkan, ”…itu semua adalah buntut usrek antaranggota Diponegoro. Maka lihat saja, keributan hanya terjadi di lokasi tertentu di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta. Di tempat lain, semua berlangsung biasa….”

Pendapatnya saya bantah, ”…tetapi Nasution dan Soepardjo toh bukan asal Diponegoro?”

Moersjid menukas, ”Benar. Tapi jangan lupa, hanya Nasution yang berani menggeser Soeharto dan mengadakan pemeriksaan, setelah muncul isu barter gula ke Singapura. Soepardjo memang bukan Diponegoro, dia perwira Siliwangi, tapi kelahiran Purworejo, satu kampung dengan Achmad Yani dan Sarwo Edhie.”

Sewaktu Bung Karno mengungsi ke Halim, ada tiga nama dicalonkan untuk mengganti Yani; Moersjid, Soeharto, dan Pranoto. Menurut Bung Karno, Moersjid tukang gelut, keadaan bakal tambah kacau kalau diangkat. Soeharto koppig, keras kepala, sulit diatur. Tinggal satu nama, Pranoto. Sosoknya tenang, kalem, penganut kebatinan, saat itu menjabat Asisten III (Personalia) Panglima Angkatan Darat. Bung Karno setuju, tetapi dia lupa, Pranoto eks Kasdam Diponegoro. Nasution mengangkat jadi Panglima sesudah menggeser Soeharto. Sempat menjabat care taker Panglima Angkatan Darat sejak Oktober 1965 sampai Februari 1966, Pranoto ditahan ketika kedudukan Soeharto, sebagai Panglima Kopkamtib, telah mantap.

Ditendang ke atas

Sesudah peristiwa G30S, Moersjid ditendang ke atas. Semula jadi Wakil Menko Hankam Kabinet Dwikora, lantas didubeskan ke Manila, Filipina. Dua tahun di sana, terjadi insiden di Manila International Airport (MIA). Akibat cekcok mulut, dia nyaris memukul Marshall Green, eks Dubes AS di Jakarta semasa Peristiwa 30 September. ”Dua minggu setelah insiden, saya dipanggil pulang. Hanya saya dan Green yang terlibat, kok Jakarta langsung mencopot saya? Jelas, Green lebih dipercaya dan lebih kuasa, ini kan tai kucing namanya.”

Pada upacara penerimaan kembali Moersjid di MBAD setelah dia selesai menjalani tugas karya sebagai Dubes, KSAD Jenderal Umar melempar pulpen agar segera dipakai tanda tangan. Moersjid melempar kembali pulpen tersebut, kena baju Umar. Kemudian dengan tenang, dia mengambil pulpennya sendiri untuk tanda tangan.

Tahun 1968 Moersjid dimasukkan ke rumah tahanan militer. Empat tahun ditahan tanpa diadili, dia dibebaskan. Sehari sesudah bebas, keluar keputusan Moersjid dipensiunkan dalam pangkat mayor jenderal pada usia 48 tahun.

Saya bertanya, ”…mungkin Jenderal Umar tidak sengaja melempar atau, bisa saja mendadak pulpennya terlepas dari tangan?”

Jawaban Moersjid, ”Kami perwira tinggi dalam sebuah upacara resmi. Sengaja atau tidak, dia menghina kehormatan seorang perwira. Langsung pulpennya saya slenthik, untung hanya kena di bajunya…”

Julius Pour Wartawan dan Penulis Sejarah

Blog Dr: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/25/01473923/siapa.telah.memfitnah.diriku